BAB II
PEMBAHASAN
A.MONOGAMI
Asas Monogami telah diletakkan oleh Islam sejak 15
abad yang lalu sebagai salah satu asas dalam Islam yang bertjuan untuk landasan
dan modal dal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonic,
sejahtera dan bahagia.
Islam memandang poligami lebih banyak membawa risiko madarat
daripada manfaatnva. Karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai
watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut, akan mudah
timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis.
Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan
keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari
istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak anaknya masing masing.
Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah
monogami, sebab dengan monogami akan mudah mengurangi sifat/watak cemburu, iri
hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamic. Berbeda dengan
kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang
timbulnya perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar
tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula
membahayakan keutuhan keluarga.
B.POLIGAMI
Poligami hanya diperbolehkan,
bila dalam keadaan darurat,misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam,
anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat
berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak akan
tertutup berkah dengan adanya keturunan yang saleh yang selalu berdoa untuknya.
Maka dalam keadaannya yang istri mandul dan suami bukan mandul berdasarkan
keterangan medic basil laboratoris suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia
benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil
dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.
Marilah kita perhatikan ayat-ayat
Al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah monogami dan poligami dalam Surat
Al-Nisa ayat 2-3:


Dan berikanlah kepada anak anak yatim (yang
sudah balig) harta-harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang
buruk dan jangan kamu makan harta mereka (dengan jalan mencampur adukkannya)
kepada hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah
dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak/wanita yang yatim (biia kamumengawininya.). maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kernudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja, atau budak budak yang kamu
miliki. Yang demikian itulah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Avat 2 dan 3 Surat AI-Nisa di atas berkaitan (ada
relevansinya), sebab ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta
anak yatirn, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta
anak yatim yang baik dengan yang jelek dengar, jalan yang tidak sah, sedangkan
ayat 2 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim, yang mau mengawini anak
yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil serta si wali wajib
memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininva,
la tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak
yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal
ini berdasarkan keterangan Aisyah r.a waktu ditanya oleh Urwah bin AI-Zubair
r.a mengenai maksud ayat 3 Surat An-Nisa tersebut.
Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut
tidak bisa herbuat adil terhadap anak yatim. maka wali tidak boieh
mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu. tapi ia
wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang istri sampai dengan
empat. dengan syarat mampu berbuat adil terhadap istri istrinva. Danjika ia
takut tidak bias berbuat adil terhadap istri-istrinva, maka ia hanya boleh
beristri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat zalim terhadap istri yang
seorang itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap istrinya
yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus
mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.
Menurut Ibnu Jarir, bahwa sesuai dengan nama surat ini Surat An-Nisa,maka
masalah pokoknva ialah mengingatkan kepada orang yang berpoligami agar berbuat
adil terhadap istri-istrinya dan berusaha memperkecil jumlah istrinya agar ia
tidak berbuat zalim terhadap keluarganya. Sedangkan menurut Aisyah r.a yang
didukung oleh Muhammad Abduh, bahwa masalah pokoknya ialah masalah poligami,
sebab masalah poligami dibicarakan dalam ayat ini adalah dalam kaitannya dengan
masalah anak wanita yatim yang mau dikawini oleh walinya sendiri secara tidak
adil atau tidak manusiawi.
Mengenai hikmah diizinkan
berpoligami dalam keadaan darut dengan syarat berlaku adil antara lain, ialah
sebagai berikut:
- untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul.
- untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri, atau istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
- untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
- untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama
Mengenai hikmah Nabi Muhammad
diizinkan beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang
diizinkan bagi umatnya ialah sebagai berikut:
- untuk kepentingan pendidikan dan pengalaran agama. Istri Nabi sebanyak (sembilan) orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah kewanitaan/kerumahtanggaan;
- untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putr Al-Harits Kepala suku Banil Musthaliq.
- untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan Islam Yang telah lanjut usianya seperti Saudah binti Zum’ah (swami meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafshah binti Umar (suami gugur di Badar), Zainab binti Khuzaimah (suami gugur di Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa dan agamanya.
Jelaslah. bahwa perkawinan Nabi dengan sembilan istrinya itu
tidaklah terdorong oleh motif memuaskan nafsu seks dan kenikmatan seks. Sebab
kalau motifnya demikian, tentunya Nabi mengawini gadis-gadis dari kalangan
bangsawan dan dari berbagai suku pada masa Nabi masih berusia muda.
C.PERCERAIAN
Mengenai
perceraian, Islam memandangnya sebagai Perbuatan halal Yang paling dibenci
agama. sebagaimana Hadis Nabi riwayat Abu Daud. Ibnu Majah. dari Al-Hakim dari
Ibnu Umar:
( أَبْغَضُ اَلْحَلَالِ عِنْدَ اَللَّهِ
اَلطَّلَاقُ )
Perbuatan halal yang paling dibenci
oteh Allah, adalah perceraian.
Hal ini disebabkan karena perceraian itu bertentangan dengan
tujuan perkawinan, ialah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia untuk selamanva.
Dan lagi perceraian itu mempunyai dampak yang negatif terhadap bekas
suami-istri dan anak-anak.
Karena itu, perceraian seperti halnya poligami hanya
diizinkan kalau dalam keadaan terpaksa (darurat). yakni sudah terjadi syiqaq
atau kemelut rumah tangga yang sudah sangat gawat keadaannya dan sudah
diusahakan dengan itikad baik dan serius untuk adanya islan atau rekonsiliasi
antara suami istri, namun tidak berhasil. termasuk pula usaha dua hakam dan
pengadilan, tetapi tetap tidak berhasil. Maka dalam keadaan rumah tangga
seperti itu, Islam memberi jalan keluar, yakni “perceraian” yang masih bersifat
talaq raj’i. artinya masih memungkinkan suami merujuk istri dalam masa
idah. Karena itu, masa idah istri itu dimaksudkan sebagai cooling
period atau masa pengendapan untuk merenungkan dengan tenang tentang baik
buruknya perceraian bagi keluarga, dan menelusuri apakah penyebab yang
sebenarnya sampai terjadi syiqaq itu dari suami atau dari istri atau
dari pihak ketiga?Dengan introspeksi dan retrospeksi, mungkin timbul
penyesalan pada suami istri, kemudian berhasrat islah dan niat masing-masing suami istri untuk
membina rumah tangga lagi. (Perhatikan Al‑Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 228 dan
Al-Nisa ayat 34).
Dan Mengingat madarat yang timbul akibat dari perceraian poligami itu
sangat besar sekali pengaruhnya terhadap kehidupan berkeluarga dan kehidupan
bermasyarakat di Indonesia, maka Pemerintah RI berhak dan bahkan berkewajiban
untuk memperketat dan mempersulit izin perceraian dan poligami,
sebagaimana tersebut dalam UU No. 1/1974, PP No. 9,1975, dan PP 10 1983, demi
menjaga kemaslahatan keluarga dan masyarakat. Dan bagi umat Islam Indonesia
wajib mentaati peraturan perundang-undangan tersebut, karena tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip di dalamAl -Qur’an dan Sunnah. dan juga mengingat Al-Qur’an
Surat Al-Nisa ayat 59:
Hai sekalian orang yang beriman,
taatlah kepada Allah, taatlahkepada rasul dan mereka yang mengatur urusan dari kamu.
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami,
sebab dengan monogami akan mudah mengurangi sifat/watak cemburu, iri hati, dan
suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamic. Berbeda dengan kehidupan
keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan
cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa
mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga.
Poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat,misalnya
istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari
tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia
meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak akan tertutup berkah dengan adanya
keturunan yang saleh yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaannya yang
istri mandul dan suami bukan mandul berdasarkan keterangan medic basil
laboratoris suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu
mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian
nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.
Mengenai perceraian, Islam memandangnya sebagai Perbuatan
halal Yang paling dibenci agama. Hal ini disebabkan karena perceraian itu
bertentangan dengan tujuan perkawinan, ialah untuk membentuk rumah tangga yang
bahagia untuk selamanva. Dan lagi perceraian itu mempunyai dampak yang negatif
terhadap bekas suami-istri dan anak-anak.
B.SARAN DAN KRITIK
Demikianlah
materi yang dapat kami sampaikan,semoga dapat di ambil manfaatnya dan kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan
sehingga jauh dari sempurna.oleh karena itu kami memohon kepda para pembaca
untuk memberikan kritik dan saran yang membangun.agar kami kelak dapat menyusun
makalah yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar